Headlines News :
Home » , , » Di Hamili Genderuwo

Di Hamili Genderuwo

Written By Gagak on Selasa, 26 Juli 2016 | 06.52

Kisah misteri ini merupakan kisah sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks diluar menikah.  Namun beberapa saat setelah melakukannya, mendadak perut si cewek membesar layaknya orang hamil. Saat melakukan hubungan intim, sepasang kekasih ini memilih tempat di pohon beringin yang notabenya adalah pohon yang angker.  Dan ternyata, penunggu pohon tersebut adalah genderwo. Bagaimana kisah misteri cinta sepasang kekasih ini yang dihamili genderwo selengkapnya? Silakan langsung saja simak kisahnya berikut ini :

Sudah satu tahun lebih, aku menjalin cinta dengan Rangga. Sejujurnya, meski jalinan cinta kami dari hari ke hari kian akrab dan mesra, tapi kami masih bisa menjaga diri. Tidak tergoda untuk melakukan hubungan seks di luar batas. Hanya sebatas peluk dan cium biasa yang sopan. Kami memutuskan, biarlah “yang satu” itu sebagai kado spesial nanti jika kami sudah menikah. Ya, begitu aku dan Rangga pernah bersepakat. Namun pada suatu hari kesepakatan yang selalu kami jaga itu akhirnya jebol juga.

Kami bukan hanya tergoda hingga berani melakukan hubungan seks seperti layaknya suami isteri, tapi juga telah membuatku hamil besar mendadak yang amat aneh dan mengerikan. Kejadian aneh itu berawal ketika hari itu Rangga sengaja datang ke tempat kerjaku. Maksudnya selain untuk menjemputku pulang, juga mengajakku makan malam di Saung Paniisan, sebuah restoran dengan suasana alam pegunungan yang terletak di daerah selatan Kabupaten Garut.

Jarak dari pusat kota ke restoran itu kurang lebih 12 Km. Jalan aspal menuju ke restoran itu tidak begitu ramai tapi syarat dengan panorama alam pegunungan yang hijau oleh hamparan kebun teh. “Hari ini aku dapat bonus lumayan dari kantor. Aku mau ngajak kamu makan malam di restoran itu!” Ucap Rangga, tersenyum. Laki-laki berusia 28 tahun yang bekerja di sebuah Bank Swasta itu lalu menuntunku masuk ke dalam mobilnya. “Oke, makasih banget! Tapi awas kalau pulangnya sampai kemalaman!” pelototku, bercanda.

Rangga hanya tersenyum mendengar candaku itu. Di mobil dalam perjalanan kami yang romantis itu kemudian terganggu oleh cuaca alam yang tidak bersahabat.  Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Jalan aspal yang kami lalui tampak pekat oleh guyuran air hujan bercampur kabut. “Sebaiknya kita berhenti saja dulu, Ga!” perintahku, khawatir. Hujan memang turun semakin deras. “Iya, tapi kita berhenti dimana? Di sekitar sini jauh dari rumah pendududk. Sisi kiri kanan jalan hanyalah hamparan kebun teh!” Komentar Rangga seperti bingung.

Tapi tak lama kemudian Rangga menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon beringin besar yang tumbuh menjulang di sisi kiri jalan.  Meski tampak samar oleh guyuran hujan berbaur kabut, tapi aku masih bisa melihat bahwa pohon beringin itu berada di samping gundukan tanah mirip kuburan. Di sekeliling gundukan tanah itu tumbuh beberapa jenis tanaman liar. “Untung saja ada pohon beringin besar ini. Lumayanlah, berhenti di bawah pohon beringin ini. Mobil agak terlindung dari guyuran hujan!” Ucap Rangga lega setelah mematikan mesin mobilnya.

“Tapi aku merasa tak nyaman kita berhenti disini, Ga. Kesannya di sini angker,” ucapku meringis dengan bulu kuduk yang tiba-tiba meremang. Sementara mataku memperhatikan guyuran hujan dan angin yang menyapu daun dan ranting-ranting pohon raksasa itu. entah mengapa tiba-tiba saja aku melihat ranting dan dahan-dahan pohon beringin itu seperti memancarkan suatu kekuatan aneh yang membuatku bergidik takut. “Kamu tak perlu takut, Rin! Ketakutanmu mungkin karena pengaruh cuaca buruk di sekitar sini. Sebentar lagi juga hujan reda. Santai saja!” 

Ucap Rangga enteng sambil menggeser duduknya lebih dekat padaku. “Aku siap jadi pelindungmu, Sayang! Jangankan manusia, hantu atau genderuwo yang berani mengganggumu akan aku labrak,” celoteh Rangga tertawa sambil mengelus-elus pipiku. Aneh, ucapan Rangga itu seperti langsung dijawab oleh suatu kekuatan yang membuat hujan mendadak turun semakin deras. Angin pun tiba-tiba bergemuruh kencang seperti hendak meruntuhkan pohon beringin itu.

Bersamaan dengan itulah, samar-samar kulihat sesosok bayangan hitam meloncat dari ketinggian pohon itu dan turun tepat di depan mobil kami. Satu detik kemudian bayangan itu berubah wujud menjadi seekor kera raksasa yang menyeringai seram. Tapi detik berikutnya makhluk aneh itu tiba-tiba menghilang seperti di telan guyuran hujan. Anehnya, Rangga yang duduk di sampingku seperti tak melihat apa-apa.  Malah bersamaan dengan menghilangnya makhluk itu, Rangga kemudian menghujani wajahku dengan ciuman dan kecupan liar, bahkan di bibir dan leherku.

Sesaat ketakutan itu hilang. Aku merasakan kenikmatan yang menjalar di leher dan bibirku. Tapi diam-diam aku merasa heran melihat perubahan pada diri kekasihku itu.  Tidak biasanya Rangga bersikap kasar dan liar dalam bermesraan. Dan yang lebih mengherankan, sorot matanya tiba-tiba terkesan aneh. Sorot mata yang menyala menahan gairah! “Ga, sudahlah! Aku takut…tadi aku melihat….” Aku memohonnya, Tapi ucapanku itu terputus karena Rangga kembali mengulum bibirku. Begitu buas, namun hangat menjalar di seluruh tubuhku.

Rangga seperti sengaja tak memberiku kesempatan mengelak dan berkata. Bahkan pelukan, ciuman dan rabaannya lebih nakal dan berani.  Ingin rasanya aku meronta dan memprotes ulah nakal laki-laki yang sangat kucintai itu. Tapi, aku sungguh tergoda oleh cumbuan yang gila itu. Tang kulakukan malah membalas dan melayani setiap gerak permainan cintanya. Kami pun kemudian hanyut dalam permainan cinta yang panas gairah. Suara guyuran hujan dan angin makin membuat kami lupa diri.

Akhirnya, dijok mobil belakang kami lalu menuntaskan hasrat seks itu dengan tubuh setengah telanjang dan posisi setengah rebah! Ketika hujan mulai reda kami masih terkapar kelelahan merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami lewati. Ya, kesepakatan kami untuk tidak melakukan hubungan seks di luar  nikah itu akhirnya jebol juga. Karena hari sudah mulai Maghrib, kami membatalkan rencana makan malam di restoran Saung Paniisan. Kami lalu memutuskan untuk pulang.

Besoknya, keanehan itu terjadi. Ketika menggeliat bangun dari tidur aku merasakan sesuatu membebani perutku. Dan betapa terkejutnya aku manakala kulihat perutku tiba-tiba menggelembung besar seperti hamil 9 bulan. Sesaat aku merasakan seperti tengah bermimpi. Tapi ketika dengan gemetar tanganku merasakan rabaan dan elusan di perutku, aku jadi sadar bahwa aku tidak bermimpi. “Tidak…tidak…tidaaak…!?” Tak sadar aku menjerit-jerit saking takut daan terkejutnya. Sekujur tubuhku mendadak terasa lemas, kepalaku terasa pening dan tatapanku berkunang-kunang. Bersamaan dengan itu samar-samar kulihat ayah dan ibuku berhamburan masuk ke kamarku.

“Ada apa, Rini? Ada apa?” Tanya ayah dan ibuku serempak dengan wajah panik dan heran. Namun sebelum aku bisa menceritakan apa yang telah terjadi pada perutku, tatapan mataku tiba-tiba mengelam gelap dan akhirnya aku tak sadarkan diri. Ketika sadar aku sudah berada di sebuah kamar berbilik bambu. Di manakah aku? Pikirku menerawang heran sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada diriku. 

Ketika aku mencoba bangkit dari terbaring, tiba-tiba aku merasakan lagi sesuatu membebani perutku. Reflek tanganku ini meraba-raba perutku. Dan betapa terkejutnya aku manakala tahu bahwa perutku masih menggelembung besar. Aku pun kembali menjerit-jerit saking takut dan terkejutnya. Aneh, heran, bingung, kesal dan takut mendadak bersatu padu dalam dadaku. Tak lama kemudian ayah dan ibuku masuk ke kamar, disusul seorang laki-laki tua berpakaian garmis putih, dan di belakang laki-laki tua itu muncul sosok yang amat kukenal, Rangga. Agaknya, orang tuaku telah menghubungi Rangga dan menceritakan kejadian aneh yang telah menimpa diriku. Wajah kekasihku itu tampak pucat dan gelisah.

“Syukurlah kamu sekarang sudah sadar, Rini! Kamu pingsan cukup lama, hampir dua puluh empat jam lebih!” Ucap ibuku sambil menghampiri dan duduk di bibir tempat tidur. Kami merasa heran dan panik melihat perutmu yang tiba-tiba membesar seperti itu. Kami lalu memanggil dokter untuk memeriksa perutmu itu. Dokter mengatakan bahwa perutmu sehat-sehat saja, tak ada kelainan atau pembengkakan di dalamnya.

Tapi yang membuat kami terkejut heran, dokter itu lalu mengatakan bahwa kamu tengah  hamil besar!” Jelas ayahku. dengan dahi berkerut dan berkali-kali menggelengkan kepala seperti tak habis pikir. “Apa, aku tengah hamil? Ah, tidak mungkin! Orang hamil itu harus melalui proses satu atau dua bulan dan seterusnya. Mana ada orang hamil mendadak besar seperti ini?” Tak sadar aku bersungut-sungut saking heran dan tak percaya mendengar penjelasan ayahku itu.

“Tenanglah, Rini! Itulah sebabnya kami membawamu ke Tasikmalaya ini untuk konsultasi dan sekaligus minta pendapat dari Ajengan Sukma. Kami khawatir kamu kena teluh atau diganggu makhluk halus atau roh jahat!”  Jelas ibuku seraya menoleh pada laki-laki tua berpakaian garmis yang berdiri di samping ayahku. “Neng Rini memang tengah hamil besar. Tapi kehamilan Neng Rini ini tak wajar, karena pengaruh jahat genderuwo. 

Makhluk halus jenis ini memang pada kesempatan tertentu bisa berbuat jahat, terlebih pada orang yang bicara sombong dan berani melakukan perbuatan tak senonoh di tempat angker di mana makhluk itu berada,”  jelas Ajengan Sukma sambil menoleh ke arah Rangga. “Apa Nak Rangga ini kekasihnya Neng Rini?” tanyanya dengan suara bijak, sambil menatap Rangga. “Iy…iya…saya kekasihnya Rini. Bahkan bulan depan saya akan tunangan. Memangnya kenapa, Ajengan?”  Jawab Rangga terkejut menerima pertanyaan yang tiba-tiba dari Ajengan Sukma itu.

Ajengan Sukma menarik nafas panjang. Mengulum senyum. Lalu, “Maaf, menurut peneropongan mata batin saya, Nak Rangga dan Neng Rini pernah melakukan hubungan intim di tempat angker.  Kalian tahu, sewaktu kalian melakukan hubungan itulah makhluk halus itu datang dan menyusup ke dalam jiwa Nak Rangga dan ikut merasakan kenikmatan hubungan yang dirasakan Nak Rangga. Sekali lagi maaf kalau terawangan batin saya ini salah !

Kontan ayah dan ibuku saling tatap mendengarnya. Ada ketidaksukaan di wajah mereka mendengar bahwa aku dan Rangga telah berbuat sejauh itu.  Sementara aku dan Rangga tertunduk mendengarnya. Penjelasan Ajengan Sukma itu bukan hanya membuat kami malu dan makin membuatku ketakutan, tetapi juga telah menghantar ingatanku pada kejadian-kejadian aneh sewaktu aku dan Rangga hendak pergi ke restoran Saung Paniisan itu.

Bukankah ketika itu mobil kami berhenti di bawah pohon beringin besar yang terkesan angker?  Ketika itu juga aku sempat melihat sesosok makhluk aneh mirip kera raksasa, dan merasakan keganjilan pada diri Rangga saat berhubungan seks denganku? Diam-diam aku membenarkan penjelasan Ajengan Sukma yang panjang lebar itu. “Lalu apa yang harus kami lakukan, Ajengan? Apapun syaratnya, saya akan siap! Yang penting perut kekasih saya ini bisa kempis seperti sedia kala,” ucap Rangga seolah tak sabar.  Wajah tampannya bersemu merah karena menahan malu. Ajengan Sukma tidak menjawab. Laki-laki berusia 62 tahun itu lalu mengambil suatu bungkusan dari atas lemari di pojok kamar. “Taburkan serbuk panyinglar ini di tempat kalian berhubungan intim waktu itu. Tapi sebelumnya, kalian harus melakoni beberapa syarat. 

Pertama, kalian harus bertobat dengan melakukan shalat sunnah taubatan nasuha. Lalu berpuasa selama tiga hari berturut-turut dan setiap malamnya kalian harus mewiridkan sholawat sebanyak 333 kali. Insya Allah purut Neng Rini akan mengempis seperti semula!” Jelas Ajengan Sukma panjang lebar. Begitulah, usai melaksanakan syarat yang disebutkan itu, aku dan Rangga lalu pergi ke tempat di mana pohon beringin besar itu berada, dan kami melakukan hubungan badan di dalam mobil yang terparkir di bawahnya.  Sambil membaca shalawat kami lalu menaburkan apa yang disebut Ajengan Sukma sebagai serbuk penyinglar, yang bentuknya mirip tepung putih itu di tanah sekeliling pohon beringin. Setekah serbuk gaib itu kami taburkan, suatu keajaiban pun berlangsung.  Bersamaan dengan selesainya kami menaburkan serbuk itu, tiba-tiba dari ranting-ranting bagian atas pohon beringin itu mengepul asap hitam yang kemudian membentuk suatu gulungan besar.

Sesaat gulungan asap hitam itu bergerak-gerak ke sana ke mari, namun kemudian membungbung ke angkasa dan akhirnya menghilang di telan mega.  Aneh, bersamaan dengan menghilangnya gulungan asap hitam itu, tiba-tiba perutku yang masih menggelembung besar itu mengempis seperti sedia kala. “Alhamdulillah…! ” Ucapku dan Rangga sambil berpelukan dalam suasana haru dan bahagia. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kebahagiaan kami saat itu, selain memanjatkan puji syukur ke Hadirat Allah SWT. 

Hari itu juga aku dan Rangga sepakat untuk menemui orang tuaku dan meminta maaf pada mereka, sekaligus memohon restu mereka karena kami akan menikah bulan depan.

Sekian~


Sumber : Sumber
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mata Angin | Johny Template | Cumbri
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2015. Mata Angin - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template